UI Milik
Indonesia Bukan Ikhwanul Muslimin, HTI, Jamaah Tabligh, Salafi Wahabi&
Syiah
Sudah menjadi rahasia
umum, selama tiga dekade, kampus-kampus negeri menjadi tempat kaderisasi
gerakan Islam transnasional. Gerakan yang berafiliasi kepada gerakan Islam di
Timur Tengah.
Ikhwanul Muslimin (IM)
dan Hizbut Tahrir (HT) yang lebih banyak berwarnai Masjid, lembaga dakwah
kampus, dan lembaga-lembaga kemahasiswaan lainnya. Jama’ah Tabligh, Syi’ah dan
Salafi Wahabi, juga ada. Namun mereka minoritas.
Jama’ah Tabligh dan
Salafi Wahabi membentuk kelompok kajian tersendiri, secara non formal di
teras-teras masjid. Sedangkan Syi’ah, biasanya ikut ke dalam kelompok-kelompok
kajian formal di luar lembaga kemahasiswaan yang dikuasai kader-kader IM dan
HT.
Sedang,
mahasiswa-mahasiswa dari organisasi Islam lokal seperti NU, Muhammadiyah dan
Persis mempunyai lembaga sendiri yang bersifat ekstra kampus. Entah mengapa,
mahasiswa-mahasiswa itu kurang berminat aktif dan menguasai lembaga-lembaga
kemahasiswaan intra kampus. Satu dua saja, secara pribadi ikut ke dalam
organisasi-organisasi kemahasiswaan intra kampus.
Kampus menjadi medan
tempur antar gerakan Islam transnasional. Bukan saja di tingkat mahasiswa
melainkan juga di tingkat dosen dan staf kependidikan. Setiap kelompok
transnasional mempunyai orang khusus yang menjadi supervisor bagi gerakan
mereka di kampus.
Di Universitas
Indonesia (UI), hegemoni mahasiswa kader-kader PeKaeS yang dulunya bernama
Jama’ah Tarbiyah yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, di lembaga dakwah
kampus dan lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas maupun fakultas sulit
dipatahkan oleh kelompok lain.
Hal ini karena jumlah
kader mereka yang paling dibandingkan dengan kelompok lain dan mereka yang
lebih dulu membangun jaringan. Dapat dipastikan kader PeKaeS. Ketua Senat
Fakultas dan BEM UI, mayoritas diduduki oleh kader PeKaeS.
Sementara Hizbut
Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi Wahabi dan Syi"ah, boleh dikatakan tidak
berkutik melawan hegemoni Ikhwanul Muslimin di UI.
Dominasi Ikhawanul
Muslimin satu sisi menguntungkan gerakan mereka. Mereka bisa menggunakan
lembaga dan tentu saja juga dana kemahasiswaan untuk agenda rekrutmen,
pembinaan dan pelatihan kader mereka.
Di sisi lain, membuat
gerakan kemahasiswaan menjadi satu warna, beku dan partisan. Mahasiswa
non-Ikhwanul Muslimin memilih apatis ketimbang aktif di lembaga kemahasiswaan.
Mereka mengisi waktu di luar jam kuliah dengan mengerjakan tugas di
perpustakaan atau rehat di kantin.
Realitas yang bertolak
belakang dengan maksud dan tujuan dibentuknya lembaga dakwah kampus dan lembaga
kemahasiswaan yaitu untuk mengembangkan minat, bakat dan potensi mahasiswa
tanpa diskriminasi aliran, kelompok dan gerakan.
Bahwa langkah dan upaya
sejumlah Rektor UI yang ingin mengembalikan lembaga-lembaga di kampus ke
rel-nya yang benar, harus didukung, karena UI milik semua mahasiswa Indonesia.
Bukan milik kelompok tertentu.
Bahwa, UI milik
Indonesia bukan milik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi
Wahabi dan Syi’ah. Mari Indonesia-kan kembali kampus UI.