Sukarno: Penggali Pancasila yang Dibunuh Lagi Setelah Mati
Pada awal 1975, kakek bintang film Dian Sastrowardoyo,
Sunario Sastrowardoyo, bersama mantan Wakil Presiden Mohamad Hatta, A.G.
Pringgodigdo, Ahmad Subardjo, dan A.A. Maramis duduk dalam Panitia Lima. Hatta
adalah ketua dari Panitia Lima itu.
“Ada
beberapa kurang pengertian di dalam masyarakat tentang lahirnya Pancasila.
Ditanyakan tentang hari lahir apakah benar 1 Juni 1945. Pertanyaan ini adalah
dalam hubungan, karena dalam buku Profesor Yamin, Naskah Persiapan Penyusunan
UUD 1945, Yamin mengucapkan pidato pada 29 Mei 1945 antara lain isinya
berkaitan dengan Pancasila,” kata Sunario di sidang Panitia Lima tanggal 10
Januari 1975, seperti dikutip dalam Pancasila Budaya Bangsa Indonesia (1993)
yang disusun P.J. Suwarno.
“Tidak benar, Bung Yamin agak licik, sebenarnya pidato itu
adalah yang diucapkan dalam pidato Panitia kecil. Bung Karnolah satu-satunya
yang tegas-tegas mengucapkan philosofische gronslag (dasar pemikiran) untuk
negara yang akan dibentuk, yaitu lima sila yang disebut Pancasila,” kata Hatta.
Hasil
kerja Panitia Lima itu pun diserahkan ke Presiden Soeharto pada 23 Juni 1975 di
Bina Graha, lima tahun setelah Hari Pancasila 1 Juni ditiadakan atau 30 tahun
setelah Pancasila lahir.
Sementara
Yamin sudah wafat pada 17 Oktober 1962 dan sudah jadi Pahlawan Nasional pula di
zaman Sukarno.
Baca
juga: Dokumen Negara yang Hilang dan Manipulasi Sejarah Keluar Pertama Kali
dari Mulut Sukarno Banyak yang percaya Pancasila adalah hasil buah pikir
Sukarno.
Gagasan
itu ia lontarkan pada 1 Juni 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu, dalam rapat
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Itulah hari
ketika kata 'Pancasila' muncul pertama kali di kalangan pendiri negara. Rapat
BPUPKI itu secara khusus membahas tentang dasar negara.
Selain
Sukarno, Supomo dan Mohamad Yamin juga merumuskan dasar-dasar negara.
Masing-masing lima poin. Banyak dari poin-poin itu isinya nyaris serupa.
Hampir-hampir sama prinsipnya dengan Pancasila yang dikenal negara Indonesia
sekarang. Dalam pidato di hadapan para anggota BPUPKI, tercetuslah kata
'Pancasila' dari mulut Sukarno.
“Namanya
bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita
ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” kata
Sukarno waktu itu.
Di
sinilah peran penting Sukarno dalam kelahiran Pancasila bersama
kolega-koleganya di BPUPKI, hingga dirinya dianggap penggali Pancasila. Sukarno
tentu bangga atas sebutan sebagai penggali Pancasila.
Dalam
pidatonya yang berjudul "Indonesia Akan Kuat Selama Kita Tetap Setia Pada
Pancasila" (5/10/1966), seperti dimuat dalam buku Bung Karno: Masalah
Pertahanan-Keamanan (hlm. 70), Sukarno bercerita, dia mendengar banyak orang
bilang bahwa "Bung Karno sekadar hanya penggali Pancasila” dan itu tidak
dipungkirinya. “Loh, memang, memang, memang saudara-saudara, aku berterimakasih
syukur ke hadirat Allah SWT bahwa aku dijadikan oleh Tuhan perumus Pancasila;
dijadikan Tuhan penggali daripada lima mutiara yang tertanam di dalam buminya
rakyat Indonesia ini, yaitu Pancasila,” kata Sukarno dalam pidato di Hari Peringatan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Dalam
autobiografinya yang dikerjakan Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah
Rakyat, dengan rendah hati Sukarno bilang, “Aku tidak mengatakan, bahwa aku
menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh
sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Belakangan,
setelah naiknya Soeharto menjadi presiden, muncul perdebatan soal penggali
Pancasila. “Ada yang menafsirkan ahli bahasa itu adalah Muhammad Yamin […]
Walaupun tak bisa disangkal kata Pancasila diucapkan pertama kali secara resmi
oleh Sukarno pada 1 Juni 1945,” tulis St. Sularto dan Dorothea Rini Yunarti
dalam Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (2010: 36).
Baca
juga: Membunuh Sukarno Kala Lebaran Kurban Sukarno & Para Pekerja Seks di
Masa Pergerakan Indonesia Desukarnoisasi ala Orde Baru Di masa Orde Baru,
“sejarah itu [tentang peran Yamin] juga digunakan untuk mengecilkan peran
Sukarno dan membesarkan peran Soeharto.
Upaya
yang dilakukan oleh Nugroho Notosusanto untuk menjadikan Sukarno bukan penggali
Pancasila, termasuk dalam konteks ini. Sebagaimana kita ketahui, peringatan
hari lahirnya Pancasila telah ditiadakan sejak tanggal 1 Juni 1970,” tulis Asvi
Warman Adam dalam Pelurusan Sejarah Indonesia (2007: 7).
Artinya,
20 hari sebelum Sukarno meninggal dunia.
Tak
hanya Hari Kelahiran Pancasila yang ditiadakan sejak 1970. Lembaga andalan
Soeharto, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), juga bertitah
pada 23 September 1970 bahwa segala ajaran Sukarno dan peringatan hari
kelahirannya dilarang.
Hari
perayaan terkait Pancasila di masa Orde Baru tentu saja Hari Kesaktian
Pancasila 1 Oktober tiap tahun. Hari kelahiran Pancasila, yang sebelumnya
diperingati tiap 1 Juni, jadi tidak penting. “Muhammad Yamin yang mengaku telah
melampirkan pada pidatonya pada 29 Mei lima dasar mirip Pancasila Bung Karno,
tidak tidak dapat diterima.
Tak
ada seorang pun saksi yang mendukung bahwa Yaminlah sesungguhnya sebagai
pencetus Pancasila,” tulis Ahmad Syafi'i Maarif dalam Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009: 137).
Menurut
Syafi'i, pidato itu adalah “selundupan.” Meski begitu, Nugroho Notosusanto
percaya Pancasila adalah gagasan Yamin. Isu Yamin sebagai penggagas Pancasila
merebak setelah Nugroho Notosusanto menyusun Naskah proklamasi jang otentik dan
rumusan Pantjasila jang otentik (1971) terbitan Pusat Sedjarah ABRI.
Beberapa
tahun kemudian, Nugroho menulis lagi soal Pancasila dalam Proses Perumusan
Pancasila Dasar Negara (1985) terbitan Balai Pustaka. Baca juga: Yamin adalah
Gajah Mada Patokan Nugroho Notosusato adalah Muhammad Yamin-lah yang pertama
mengucapkannya, meski menurut Hatta itu cuma diucapkan dalam rapat kecil. Meski
begitu, di mata pemerintah Orde Baru, “Yang dianggap pertama kali merumuskan
materi Pancasila, ialah Mr. Muh. Yamin, yang pada tanggal 29 Mei 1945 di dalam
pidatonya mengemukakan lima Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia,” seperti tercatat dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan
Jaman Republik Indonesia (1975: 18) rilisan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Penghilangan peran Sukarno dalam sejarah Pancasila sebagai dasar
negara ini tidak begitu berhasil, meski tentunya ada saja orang yang percaya
pada Yamin atau Nugroho.
Syafi'i
menyebut, “Desukarnoisasi telah dilakukan dengan cara sembrono, khususnya
menyangkut dasar negara ini.” Usaha ini adalah usaha membunuh Sukarno setelah
kematiannya.
Sejarawan
Jacques Lecrec menyebut Sukarno dibunuh dua kali; sementara Asvi Warman Adam
menyebut Sukarno dibunuh tiga kali oleh Orde Baru, salah satunya lewat
penghilangan perannya dalam sejarah.
Sejarah
Orde Baru sendiri berada di tangan Nugroho Notosusanto, yang juga punya
pengaruh besar dalam penulisan sejarah Indonesia versi pemerintah.
Nugroho
adalah brigadir jenderal TNI yang pernah jadi pimpinan Pusat Sedjarah TNI dan
mantan penulis prosa fiksi. Di luar itu, ia pernah menjabat Rektor Universitas
Indonesia (1982-1983) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985).
Baca
juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik
Matanasi (tirto.id - Politik)
Penulis:
Petrik Matanasi Editor: Ivan Aulia Ahsan
sumber; https://tirto.id/sukarno-penggali-pancasila-yang-dibunuh-lagi-setelah-mati-cLgk?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Share
https://www.kompas.tv/pendidikan/411682/hari-lahir-pancasila-2023-sejarah-ditetapkan-1-juni-1945-hingga-rumusan-dari-para-tokoh
Hari Lahir Pancasila 2023, Sejarah Ditetapkan 1 Juni 1945 hingga Rumusan dari Para Tokoh
Edukasi | 31 Mei 2023 | 09:38 WIB
JAKARTA, KOMPAS.TV - Masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila 2023 pada Kamis (1/6/2023) yang telah ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional.
Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila didasarkan pada sidang BPUPKI pad 1 Juni 1945 ketika Ir. Soekarno mengusulkan rumusan Pancasila yang menjadi cikal bakal dasar negara Indonesia.
Adapun 1 Juni 1945 resmi ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila atas Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016.
Sejarah Hari Lahir Pancasila
Melansir kemenkeu.go.id, Rabu (24/5/2023), peristiwa Hari Lahir Pancasila dilatarbelakangi oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia yang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).
BPUPKI memiliki tugas menyusun dasar negara Indonesia yang merdeka, berikut anggotanya:
. Soekarno
. Mohammad Yamin
. R. Kusumah Atmadja
. R. Abdulrahim Pratalykrama
. R. Aris
. Ki Hadjar Dewantara
. Ki Bagoes Hadikoesoemo
. BPH Bintaro
. Abdul Kahar Moezakkir
. BPH Poeroebojo
. RAA Wranatakoesoema
. R. Asharsoetedjo Moenandar
. Oeij Tiang Tjoei
. Mohammad Hatta
. Oei Tjong Hauw
. H. Agoes Salim
. M. Soetardjo Kartohadikoesoemo
. R.M. Margono Djojohadikoesoemo
. K.H. Abdoel Halim
. K.H. Masjkoer
. R. Soerdirman
. PAH Djajadiningrat
. Soepomo
. R. Roeseno
. R. Singgih
. Ny. Maria Ulfah Santoso
. RMTA Soerjo
. R. Roeslan Wongsokoesoemo
. R. Soesanto Tirtoprodjo
. Ny. RSS Soenarjo Mangoenpoespito
. Boentaran Martoatmodjo
. Liem Koen Hian
. J. Latoeharhary
. R. Hindro Martono
. R. Soekardjo Pandji Wirjopranoto
. H. Ah. Sanoesi
. A.M. Dasaat
. Eng Hoa
. M.P Soerachman Tjokroadisoerjo
. RAA Soemitro Kolopaking Purbonegoro
. KRMTH Woerjaningrat
. Ahmad Soerbardjo
. R. Djenal Asikin Widjojokoesoemo
. Abikoesno Tjokrosoejoso
. Parada Harahap
. RM Sartono
. KHM Mansjoer
. KRMA Sosrodiningrat
. R. Soewandi
. K.H. A. Wahid Hasjim
. P.F. Dahler
. Soekiman
. KRMT Wongsonagoro
. R. Otto Iskandar Dinata
. A. Baswedan
. Abdul Kadir
. Samsi
. A.A. Maramis
. R. Samsoedin
. R. Sastromoeljono
Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei 1945. Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara.
Rapat pertama ini diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila.
Pada zaman Belanda, gedung tersebut dinamakan gedung Volksraad atau Perwakilan Rakyat.
Dalam sidang BPUPKI tersebut sejumlah tokoh mencoba merumuskan dasar-dasar Indonesia merdeka, mulai dari Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
1. Rumusan Dasar Negara dari Moh. Yamin
Mohammad Yamin memberikan lima hal untuk bisa dijadikan dasar negara. Pertama diajukan secara lisan pada tanggal 29 Mei 1945 yang berisi:
. Peri kebangsaan
. Peri kemanusiaan
. Peri ketuhanan
. Peri kerakyatan
Kesejahteraan rakyat
2. Rumusan Dasar Negara dari Soepomo
Usulan untuk rumusan Pancasila juga diungkapkan Soepomo dalam pidatonya di sidang BPUPKI yang digelar pada 31 Mei 1945, yaitu:
. Persatuan
. Kekeluargaan
Keseimbangan lahir dan batin
. Musyawarah
. Keadilan rakyat
3. Rumusan Dasar Negara oleh Soekarno
Dalam sidang pada 1 Juni 1945, Ir Soekarno berkesempatan menyampaikan gagasannya mengenai konsep awal dasar negara Indonesia yang dinamakan "Pancasila"
Panca artinya lima, sedangkan sila artinya prinsip atau asas. Pada saat itu Bung Karno menyebutkan lima dasar negara Indonesia, yakni
. Kebangsaan
. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
. Demokrasi
. Keadilan sosial
. Ketuhanan yang Maha Esa
Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPKI.
Untuk menyempurnakan rumusan Pancasila dan membuat Undang-Undang Dasar yang berlandaskan kelima asas tersebut, maka Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk sebuah panitia yang disebut sebagai Panitia Sembilan.
Panitia Sembilan ini berisi Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Bapak AA Maramis, dan Achmad Soebardjo.
Setelah sidang kedua BPUPKI, pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI resmi dibubarkan karena dianggap telah berhasil dalam menyelesaikan tugasnya untuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
Setelah pembubaran BPUPKI, barulah dibentuk Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI).
Setelah melalui beberapa proses persidangan, Pancasila akhirnya dapat disahkan pada Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan penetapan Rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945.
Pada sidang tersebut, disetujui bahwa Pancasila dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah.
Adapun bunyi Pancasila yang berlaku hingga kini adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang DIpimpin Oleh Hikmat, Kebijaksanaan, dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
BUNGKARNO & INGGIT GANARSIH
Sunting Edit: Eyang Kukuh
Bungkarno & JFK- Presiden USA |
Inggit Garnasih adalah istri yang selama 20 tahun mendampingi
Sukarno dan akhirnya berpisah 2 tahun sebelum Sukarno menjadi presiden.
"Tidak usah meminta maaf, Kus. Pimpinlah negara dengan
baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini," begitu ucap Inggit
Garnasih kepada Kusno, mantan suaminya.
Kusno yang dimaksud Inggit tidak lain adalah Sukarno, sang
Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Kala itu di suatu hari pada 1960, Sukarno mendatangi rumah
Inggit di Bandung untuk meminta maaf karena pernah melukai hati mantan istrinya
tersebut.
Sukarno
menikahi Inggit pada 24 Maret 1923, saat ia masih menjadi mahasiswa Technische
Hoogeschool te Bandoeng, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB).
Jarak usia yang terpaut 13 tahun lebih muda tidak kuasa
menghalangi rasa cinta Sukarno kepada Inggit. Lantas, siapakah Inggit? Wanita
ini adalah induk semang alias ibu kost yang menampung Sukarno semasa kuliah di
Bandung. Berawal Dari Cinta Terlarang - Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan,
Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, pada 17 Februari 1888.
Saat masih remaja, Inggit adalah kembang desa di kampungnya.
Banyak lelaki yang berupaya mendekat untuk sekadar bisa mencuri perhatiannya.
Si bunga desa itu akhirnya dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di
Kantor Residen Priangan.
Namun,
pernikahan ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. Kemudian,
Inggit menikah lagi. Seorang pengusaha yang juga aktif di organisasi Sarekat
Islam bernama Haji Sanusi menyuntingnya. Pernikahan mereka baik-baik saja
meskipun tidak bisa juga dibilang bahagia karena ia sering ditinggal suaminya
yang terlalu sibuk.
Hingga datanglah Sukarno. Sukarno masih berumur 21 tahun saat
tiba di Bandung. Ia melanjutkan kuliah ke kota kembang setelah lulus dari
Hogere Burger School (HBS) di Surabaya.
Ketika
itu, Sukarno bukan lajang lagi. Ia punya istri bernama Siti Oetari yang tidak
lain adalah putri kesayangan bapak kost-nya di Surabaya, Haji Oemar Said
Tjokroaminoto. Namun, rasa cinta Sukarno kepada Oetari lebih condong seperti
cinta kepada saudara.
Sukarno sering berinteraksi dengan Inggit, apalagi mereka
tinggal serumah, lalu terjadilah peristiwa di suatu malam itu.
"Pada
awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu dan tiba-tiba dia
berada dalam rengkuhanku. Ya, itulah yang terjadi,” tutur Sukarno kepada Cindy
Adams seperti yang dikisahkan dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia (1965).
“Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali
dan kami terperangkap dalam rasa cinta satu sama lain. Dan semua itu terjadi
selagi ia masih istri dari Sanusi dan aku suami dari Oetari," lanjutnya.
Dan akhirnya, Sukarno menceraikan Oetari, begitu pula dengan Inggit yang secara
resmi berpisah dengan Sanusi.
Keduanya lalu menikah di rumah orangtua Inggit di Jalan
Javaveem, Bandung.
Baca
juga: Di Peneleh, Sukarno Lahir, Belajar dan Memadu Kasih Setia Hingga ke Tanah
Buangan
Inggit Garnasih adalah perempuan yang menyertai setiap
jengkal kehidupan Sukarno dalam proses menuju pendewasaan dengan berbagai
dinamikanya.
Ketika
Sukarno ditangkap di Yogyakarta pada 29 Desember 1929 dan dijebloskan ke
Penjara Banceuy di Bandung lalu dipindahkan ke Sukamiskin, Inggit tidak pernah
lelah memberikan semangat kepada suaminya itu.
Setiap menjenguk Sukarno di penjara, Inggit kerap kali
menyelipkan uang di dalam makanan yang dibawanya agar Sukarno bisa membujuk
penjaga untuk membelikannya surat kabar.
Selama
Sukarno dibui, Inggit juga menjadi perantara suaminya agar bisa terus
berhubungan dengan para aktivis pergerakan nasional lainnya.
Untuk menulis pesan dari Sukarno, Inggit memakai kertas rokok
lintingan. Inggit kala itu memang berjualan rokok buatan sendiri. Rokok yang
diikat dengan benang merah khusus hanya untuk para relasi suaminya, yang di
dalamnya berisi pesan-pesan dari Sukarno (Peter Kasenda, Bung Karno Panglima
Revolusi, 2014).
Inggit
juga sering membawakan buku-buku yang dibutuhkan Sukarno meskipun harus
berhati-hati agar tidak ketahuan penjaga.
Caranya, seperti yang dikutip dari buku Biografi Inggit
Garnasih: Perempuan dalam Hidup Sukarno karya Reni Nuryanti (2007), Inggit
berpuasa dulu selama beberapa hari supaya buku itu bisa diselipkan di perutnya.
Selama Sukarno menjalani pembuangan ke Ende, Flores, sejak
1933, lalu diasingkan lagi ke Bengkulu sedari tahun 1938, Inggit selalu setia
menyertai.
Nah,
di sinilah Sukarno mengenal Fatmawati, seorang remaja putri yang manis, anak
tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Baca juga: Memukul Kaum Pergerakan dan Kisah Sukarno di
Penjara Banceuy Ternyata Bukan Ibu Negara
Seiring
kekalahan Belanda dan berkuasanya Jepang di Indonesia pada 1942, Sukarno
dibebaskan dan dikirim ke Jakarta.
Hingga akhirnya, Sukarno meminta izin kepada Inggit untuk
menikahi Fatmawati.
"Aku
tidak bermaksud menyingkirkanmu. Merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam
kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri yang pertama,” ucap
Sukarno (Cindy Adams, 1965).
“[… ] Jadi memegang segala kehormatan yang bersangkutan
dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukuman agama dan dan hukuman
sipil, mengambil istri kedua agar mendapatkan keturunan," imbuhnya.
Inggit
tentu saja menolak untuk dimadu hingga Sukarno terpaksa menceraikannya meskipun
bukan itu yang diinginkannya.
Setelah hampir 20 tahun bersama melalui susahnya kehidupan,
dari penjara hingga pengasingan, Sukarno dan Inggit akhirnya resmi berpisah
pada pertengahan 1943.
Tanggal
1 Juni 1943, Sukarno menikahi Fatmawati.
Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan Sukarno
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pertama, Fatmawati-lah yang
menjadi first lady alias ibu negara.
Sementara
Inggit tetap sendiri dan masih tinggal di Bandung.
Sukarno
wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970 setelah nyaris seluruh kekuasaannya dilucuti
oleh Soeharto yang menggantikannya sebagai presiden.
Begitu mengetahui Sukarno telah mangkat, Inggit langsung
bergegas menuju ke Jakarta, ke Wisma Yaso, rumah duka mantan suaminya itu. Di samping
jasad Sukarno, Inggit berucap dalam bahasa Sunda diiringi isak tangis yang
sedikit tertahan. "Kus, kiranya Kus mendahului, Inggit doakan...,” sampai
di sini, kata-kata Inggit terhenti.
Ia
tak kuasa menahan kepedihan atas kepergian lelaki yang sangat dicintainya itu.
Inggit sudah sejak lama memaafkan Sukarno, seperti yang terucap saat pertemuan
mereka di Bandung pada 1960 itu.
Inggit memberikan maafnya juga kepada Fatmawati yang
menemuinya pada 7 Februari 1984 dengan mediasi Ali Sadikin.
Kurang
dari 2 bulan setelah perjumpaan penuh haru itu, Inggit meninggal dunia. Inggit
Garnasih, istri terkasih Sukarno yang setia menyertainya dalam kondisi paling
sulit sekalipun, wafat pada 13 April 1984, tepat hari ini 36 tahun lalu, dalam
usia 96 tahun.
Baca
juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Iswara N
Raditya (tirto.id - Humaniora) Penulis: Iswara N Raditya Editor: Maulida Sri
Handayani
SUMBER;
https://tirto.id/inggit-garnasih-mengantarkan-sukarno-sampai-gerbang-kemerdekaan-cmBY
“Rakyat
Korea dan Indonesia sejak dahulu telah mengikat tali persahabatan dan telah
mengembangkan kerjasama dalam berbagai bidang.”
–Kim Il
Sung
“Yang
Mulia Kim Il Sung adalah tokoh bersejarah yang telah berikan kita contoh yang
harus diikuti oleh kita. Kita pun akan berjuang dan berjalan dengan berdikari
mengikuti jejak Korea.”
–Sukarno
Nyiur Hijau versi Tentara Korea Utara | 푸른 야자수나무 (조선인민군공훈국가합창단) 인도네시아노래
LINK YOUTUBE ; https://www.youtube.com/watch?v=vAKXTUjjB3U
Nyiur Hijau
푸른 야자수나무
Bagimu
Negeri
조국에 바치리
Paduan
Suara Kehormatan Tentara Rakyat Korea adalah orkestra dan paduan suara tertua
dan terbesar di Republik Rakyat Demokratik Korea dan berada di bawah
administrasi Tentara Rakyat Korea.
Lagu
patriotik Indonesia ini dinyanyikan pertama kali oleh paduan suara tersebut
pada saat Konser Penyambutan Rombongan Presiden Megawati Sukarnoputri ke
Pyongyang pada tahun 2002.
Bung Karno dan Cindy Adams (1966)
LINK
YOUTUBE. https://www.youtube.com/watch?v=WvicoKUPaFA
Wawancara Terakhir Presiden Soekarno
Oleh Cindy Adams Setelah Peristiwa Pengkhianatan G30S/PKI .
https://www.youtube.com/watch?v=pIKfxbTyP8A
Wawancara Bung Karno dengan dua wartawan
asing (1965)
https://www.youtube.com/watch?v=_zDUKmQsX7w
Iyakan CINDY Karena Cantik.?? Fakta Lain
Soekarno Yang Jarang Diketahui Khalayak Negeri ini
https://www.youtube.com/watch?v=oD4_PMXux2I
Sejarah Kisah-Kasih Ratna Sari Dewi
Soekarno & Bung Karno
Ratna Sari Dewi adalah istri ke-5 yang selalu
dicintai Presiden RI Pertama, Ir. Sukarno.
Ratna Sari Dewi Soekarno diketahui berada di
Bali untuk menghadiri upacara kremasi jenazah almarhum menantunya, Frits
Frederik Seegers, Senin (8/2/2021).
Wanita Jepang bernama asli Naoko Nemoto ini
adalah istri ke-5 Presiden RI Pertama, Ir. Sukarno. Meskipun akhirnya bercerai,
Bung Karno pernah mengakui bahwa ia selalu mencintai Ratna Sari Dewi. Pengakuan
itu termaktub dalam buku Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih, Suami & Kebanggaanku
(1978).
Sang proklamator bahkan berpesan agar
dimakamkan dalam satu liang lahat dengan Ratna Sari Dewi kelak. “Kalau aku
mati, kuburlah aku di bawah pohon yang rindang. Aku mempunyai istri yang aku
cintai dengan segenap jiwaku. Namanya Ratna Sari Dewi. Kalau ia meninggal,
kuburlah ia dalam kuburku. Aku menghendaki ia selalu bersama aku.”
Pernikahan Bung Karno dan Naoko Nemoto alias
Ratna Sari Dewi dikaruniai seorang putri bernama Kartika Sari Dewi. Kartika
Sari Dewi nantinya menikah dengan Frits Frederik Seegers –mantan Presiden
Citibank Eropa- yang wafat pada Rabu (3/2/2021) lalu.
Baca juga: Inggit Garnasih Mengantarkan Sukarno
ke Gerbang Kemerdekaan Frederik Kiran & Sejarah Asmara Sukarno-Ratna Sari
Dewi Biografi Ir Sukarno: Kisah Tragis dan Kesepian di Akhir Hidupnya Pertemuan
Sukarno dan Naoko Usia Naoko Nemoto masih 19 tahun kala pertama kali bertemu
dengan Sukarno pada 1959.
Menurut The Japanese and Soekarnos Indonesia
(1975) karya Masashi Nishihara, Presiden RI ini memang sering berkunjung ke Jepang
untuk mengurus masalah ganti-rugi perang.
Tanggal 16 Juni 1959 dalam acara jamuan makan
malam di Imperial Hotel, Tokyo, Sukarno berkenalan dengan Naoko. Ada pendapat
yang menyebut bahwa Naoko kala itu adalah seorang geisha yang ditugaskan untuk
mendampingi Sukarno dalam acara resmi.
Robert Whiting dalam Tokyo Underworld (2012),
misalnya, mengutip laporan Shukan Gendai (1966), menyebut Naoko muda dikenal
sebagai gadis pertunjukan. Demikian pula dalam Beauty Inside (2016) karya Rieke
Indriyanti yang menuliskan bahwa Naoko sebagai geisha. Namun, menurut Rieke,
geisha –yang dalam bahasa Jepang bermakna seniman– memiliki berbagai kemampuan
khusus, juga pengetahuan serta wawasan yang luas.
Terkait hal ini, Naoko berkali-kali menangkis
anggapan miring bahwa ia adalah geisha. Ia juga menyangkal tudingan yang
menyebut pertemuannya dengan Sukarno terjadi di tempat hiburan malam. “Tidak
benar saya dikenalkan [dengan Sukarno] di Akasaka Night Club. Tidak mungkin. Ia
adalah seorang muslim yang taat, tidak minum alkohol, dan pagi hari jam 5 sudah
harus bangun untuk salat,” tegas Naoko.
Baca juga: Sejarah Perang Diponegoro: Sebab,
Tokoh, Akhir, & Dampak Sejarah Awal Mataram Islam, Letak, dan Pendiri
Kerajaan Apa itu Romusha di Masa Jepang, Tujuan, dan Dampaknya?
Istri Bung Karno yang ke-5 Beberapa bulan
setelah pertemuan di Tokyo itu, Sukarno mengundang Naoko Nemoto ke Indonesia.
Naoko tiba di Jakarta pada 14 September 1959 dan diterima dengan hangat.
Hubungan keduanya pun bertambah dekat. Tanggal
3 Maret 1962, Bung Karno menikahi Naoko. Naoko pun memeluk Islam, dan, seperti
diungkapkan Rhien Soemohadiwidjojo dalam buku Bung Karno Sang Singa Podium
(2013), namanya diganti menjadi Ratna Sari Dewi.
Naoko adalah perempuan ke-5 yang dikawini Bung
Karno hingga saat itu.
Kala masih muda di Surabaya, Sukarno menikah
dengan Siti Oetari Tjokroaminoto, putri tokoh Sarekat Islam (SI) Hadji Oemar
Said Tjokroaminoto, namun kemudian berpisah. Selanjutnya, Sukarno mengawini
Inggit Garnasih yang lama mendampinginya saat berjuang selama era pergerakan
nasional, termasuk saat menjalani pembuangan di Ende (Flores) dan Bengkulu.
Pada masa pendudukan Jepang atau beberapa waktu
sebelum Indonesia merdeka, Sukarno dan Inggit bercerai. Bung Karno lalu
menyunting Fatmawati yang kemudian menjadi ibu negara pertama RI.
Selama menjadi presiden, Sukarno menikah
beberapa kali lagi. Hartini menjadi istri Sukarno dalam perkawinan yang ke-4
pada 1953. Enam tahun berselang, Bung Karno janji suci dengan Naoko Nemoto atau
Ratna Sari Dewi.
Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan Heldy
Djafar adalah para wanita yang dinikahi Bung Karno berikutnya sebelum sang
proklamator menutup mata untuk selama-lamanya pada 21 Juni 1970.
Baca juga: Tahun Berapa Sejarah Kerajaan
Majapahit Berdiri & Terletak di Mana? Sejarah Pembantaian Dukun Santet di
Banyuwangi Tahun 1998
Sejarah Kudeta Politik PDI di Rezim Soeharto:
Megawati vs Soerjadi
Jalinan perkawinan Bung Karno dengan Ratna Sari
Dewi kandas pada 1970 atau tiga tahun setelah kelahiran putri mereka, Kartika
Sari Dewi. Tak lama setelah perceraian itu, Sukarno meninggal dunia.
Ratna Sari Dwi meninggalkan Indonesia setelah
Sukarno tiada. Hidupnya berpindah-pindah, dari Perancis, Swiss, hingga Amerika
Serikat.
Sejak 1983, Ratna Sari Dewi Soekarno sempat
kembali ke Jakarta.
Wanita yang kerap dipanggil Madame Dewi ini
diketahui menetap di Jepang pada 2008.
Baca juga artikel terkait PROFILE DEWI SOEKARNO
atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya (tirto.id - Sosial Budaya)
Penulis: Iswara N Raditya Editor: Agung DH
SUMBER;
https://tirto.id/sejarah-kisah-kasih-ratna-sari-dewi-soekarno-bung-karno-f983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar